إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ﴿٥﴾ Iyyakana’budu wa iyya kanasta’in (Hanya Engkaulah yang kami iembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan). Para ahli qira’at sab’ah dan jumhurul ulama membacanya dengan memberikan tasydid pada huruf ya’ pada kata iyyaka dibaca dengan memfathahkan huruf nun yang pertama, menurut bacaan seluruh ahli qira’at. Menurut bahasa, kata ibadah berarti tuntuk patuh. Sedangkan menurut syariat, ibadah berarti ungkapan dari kesempurnaan cinta, ketundukan, dan ketakutan. Didahulukannya maf’ul (objek), yaitu kata iyyaka, dan (setelah itu) diulangi lagi, adalah dengan tujuan untuk mendapatkan perhatian dan juga sebagai pembatasan. Artinya, “Kami tidak beribadah kecuali kepada-Mu, dan kami tidak bertawakal kecuali hanya kepada-Mu.” Dan inilah puncak kesempurnaan ketaatan. Dan dien (agama) itu secara keseluruhan kembali kepada kedua makna di atas. Yang demikian itu seperti kata sebagian ulama salaf, bahwa surat Al-Fatihah adalah rahasia Alquran, dan rahasia Al-Fatihah terletak pada ayat Iyyakana’budu wa iyya kanasta’in (Hanya Engkaulah yang kami ibadahi dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan). Penggalan pertama, yakni “Hanya kepada-Mu kami beribadah” merupakan pernyataan lepas dari kemusyrikan. Sedangkan pada penggalan kedua, yaitu, “Hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan” merupakan sikap berlepas diri dari upaya dan kekutan serta berserah diri kepada Allah SWT. Makna seperti ini tidk hanya terdapat dalam satu ayat Alquran saja, seperti firman-Nya; وَلِلَّهِ غَيْبُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَإِلَيْهِ يُرْجَعُ الْأَمْرُ كُلُّهُ فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ ۚ وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ ﴿١٢٣﴾
Dalam ayat tersebut (Al-Fatihah: 5) terjadi perubahan bentuk dari ghaib (orang ketiga) kepada mukhathab (orang kedua, lawan bicara) yang ditandai dengan huruf kaf pada kata iyyaka. Yang demikian itu memang selaras karena ketika seorang hamba memuji kepada Allah, maka seolah-olah ia merasa dekat dan hadir di hadapan-Nya. oleh karena itu, Dia berfirman, “Iyyakana’budu wa iyya kanasta’in.” Ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa pada awal-awal surat Al-Fatihah merupakan pemberitahuan dari Allah SWT yang memberikan pujian kepada diri-Nya sendiri dengan berbagai sifat-Nya yang Agung, serta petunjuk kepada hamba-hamba-Nya agar memuji-Nya dengan pujian tersebut. Dalam shahih Muslim, diriwayatkan dari al-‘Ala’ bn Abdur Rahman, dari ayahnya, dari Abu Hurairah ra, Nabi saw bersabda, “Aku telah membagi salat dua bagian antara diri-Ku dan hamba-Ku. Bagi hamba-Ku apa yang ia minta. Jika ia mengucapkan, ‘Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam’, maka Allah berfirman, ‘Hambaku telah memuji-Ku’. Dan jika ia mengucapkan, ‘Yang menguasai hari pembalasan’, maka Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah memulikan-Ku’. Jika ia mengucapkan, ‘Hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan’, maka Allah berfirman, ‘Inilah bagian antara hamba-Ku dan diri-Ku. Untuk hamba-Ku apa yang ia minta’. Dan jika ia mengucapkan,'”Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau enugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai (Yahudi), dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (Nashrani)’, maka Allah berfirman, “Ini untuk hamba-Ku dan bagi hamba-Ku pula apa yang ia minta’.” Iyya kana’budu didahulukan dari wa iyya kanasta’in, karena ibadah kepada-Nya memrupakan tujuan, sedangkan permohonan pertolongan merupakan sarana untuk beribadah. Yang terpenting lebih didahuukan dari sekedar penting, wallahu a’lam. Jika ditanyakan, lalu apa makna huruf nun pada firman Allah SWT, “Iyyakana’budu wa iyya kanasta’in,” jika nun itu dimaksudkan sebagai bentuk jama’, padahal orang yang mengucpkan hanya satu orng, dan jika untuk pengagungan, maka yang demikian itu tidak sesuai dengan kondisi? Pertanyaan di atas dapat dijawab bahwa yang dimaksudkan dengan huruf nun (kami) itu adalah untuk memberitahukan mengenai jenis hamba, dan orang yang salat merupakan salah satu darinya, apalagi jika orang-orang melakukannya secara berjamaah. Atau, imam dalam salat memberitahukan tentang dirinya sendiri dan juga saudara-saudaranya yang beriman tentang ibadah, yang untuk tujuan inilah mereka diciptakan. Ibadah merupakan maqam (kedudukan) yang sangat agung, yang dengannya seorang hamba menjadi mulia, bukan kerana penyerahan diri kepada Allah Ta’ala sahaja, dan Dia telah menyebut Rasul-Nya sebagai hamba-Nya yang menempati maqam yang mulia. Firman Allah,
Allah telah menyebutkan Muhammad saw sebagai seorang hamba ketika menurunkan Alquran kepadanya, ketika beliau menjalankan dakwahnya dan ketika diperjalankan pada malam hari. Dan Dia membimbingnya untuk senantiasa menjalankan ibadah pada saat-saat hatinya merasa sesak akibat pendustaan orang-orang yang menentangnya. Dia berfirman, وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُولُونَ ﴿٩٧﴾ فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَكُن مِّنَ ٱلسَّـٰجِدِينَ ﴿٩٨﴾ وَٱعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ ٱلْيَقِينُ ﴿٩٩﴾
Sumber: Terjemahan Lubabut Tafsir Min Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir), Tim Pustaka Imam as-Syafi’i ——————————————————————— اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ﴿٦﴾ Ihdinashshirathal mustaqim“ Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (1: 6). Para jumhurul ulama membacnya dengan memakai huruf “shod”. Ada pula yang membaca dengan huruf “za” (azzirath). Al-Farra’ mengatakan, “Hal ini merupakan bahasa Bani Udzrah dan Bani Kalab.” Setelah menyampaikan pujian kepada Allah SWT, dan hanya kepada-Nya permohonan ditujukan, maka layaklah jika hal itu diikuti dengan permintaan. Sebagaimana firman-Nya, “Setengah untuk-Ku dan setengah lainnya untuk hamba-Ku. Dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta.” Yang demikian itu merupakan keadaan yang amat sempurna bagi seorang yang mengajukan permintaan. Pertama, ia memuji Rabb yang akan diajukan permintaan kepada-Nya dan kemudian memohon keperluannya sendiri dan keperluan saudara-saudaranya dari kalangan orang-orang yang beriman, melalui ucapannya, “Ihdinashshirathal mustaqim” (Tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus). Karena, yang demikian itu akan lebih memudahkan pemberian apa yang dihajatkan dan lebih cepat untuk dikabulkan. Untuk itu Allah Tabaraka wa Ta’ala membimbing kitya agar senantiasa melakukannya, sebab yang demikian itu lebih sempurna. Permohonan juga dapat diajukan dengan cara memberitahukan keadaan dan kebutuhan orang yang mengajukan permintaan tersebut. Sebagaimana yang diucapkan Musa as, “Ya Rabbku, sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” (Al-Qashash: 24). Permintaan itu bisa di dahului sebelumnya dengan menyebutkan sifat-sifat yang akan diminati, seperti ucapan Dzun Nun (Nabi Yunus as), Tidak ada ilah selain Emngkau. Maha suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang dzalim.” (Al-Anbiya: 87). Tetapi, terkadang hanya dengan memuji kepada-Nya, ketika meminta, sebagaimana yang diungkapkan ooleh seorang penyair: Apakah aku harus menyebutkan kebutuhanku, ataukah cukup bagiku rasa malumu Kata hidayah pada ayat ini berarti bimbingan dan taufik. Terkadang kata hidayah (muta addi/transitfi) dengan sendirinya (tanpa huruf lain yang berfungsi sebagai pelengkapnya), seperti pada firman-Nya di sini, “Tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus.” Dalam ayat tersebut terkandung makna, berikanlah ilham kepada kami, berikanlah taufik kepada kami, berikanlah rezeki kepada kami, atau berikanlah anugerah kepada kami. Sebagaiamana yang ada pada firman-Nya, “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan.” (Al-Balad: 10). Artinya, kami telah menjelaskan kepadanya jalan kebaikan dan jalan kejahatan. Selain itu, dapat juga menjadi muta addi’ (transitif) dengan memakai kata “ila”, sebagaimana firman-Nya, “Allah telah memilihnya dan menunjukkannya kepada jalan yang lurus.” (An-Nahl: 121). Makna hidayah dalam ayat-ayat di atas ialah dengan pengertian bimbingan dan petunjuk. Demikian juga firman-Nya, Dan sesungguhnya engkau (Rasulullah saw) benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Asy-Syura’: 52). Terkadang kata hidayah menjadi muta addi dengan memakai kata “li” sebagaimana yang diucapkan oleh para penghuni surga, “Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada surga ini.” (Al-A’raf: 43), Artinya, Allah memberikan taufik kepada kami untuk memperoleh surga ini dan Dia jadikan kami sebagai penghuninya. Sedangkan mengenai firman-Nya, “Syirathal mustaqim”, Imam Abu Ja’far bin Jarir mengatakan, ahlut tafsir secara keseluruhan sepakat bahwa ash-shirathal mustaqim itu adalah jalan yang terang dan lurus. Kemudian terjadi perbedaan ungkapan para mufassir, baik dari kalangan ulama salaf maupun khalaf dalam menafsirkan kata ash-shirath, meskipun pada prinsipnya kembali kepada satu makna, yaitu mengikuti Allah dan Rasul-Nya. Jika ditanyakan, mengapa seorang mukmin meminta hidayah pada setiap saat, baik pada waktu mengerjakan salat maupun di luar salat, padahal ia sendiri menyandang sifat itu. Apakah yang demikian itu termasuk tahshilul bashil (berusha memperoleh sesuatu yang sudah ada)? Jawabnya adalah tidak. Kalau bukan karena dia perlu memohon hidayah siang dan malam hari, niscaya Allah SWT tidak akan membimbing ke arah itu. Sebab, seornag hamba senantiasa membutuhkan Allah setiap saat dan situasi agar diberikan keteguhan, kemantapan, penambahan, dan kelangsungan hidayah, karena ia tidak kuasa membarikan manfaat atau mudharat kepada dirinya sendiri kecuali Allah menghendaki. Oleh karena itu, Allah SWT selalu membimbingnya agar ia senantiasa memohon kepada-Nya setiap saat dan supaya Dia memberikan pertolongan, keteguhan, dan taufik. Orang yang berbahagia adalah orang yang diberi Allah taufik untuk memohon kepada Allah. Sebab, Allah telah menjamin akan mengabulkan permohonan seseorang jika ia memohon kepada-Nya, apalagi permohonan orang yang dalam keadaan terdesak dan sangat membutuhkan bantuan-Nya pada tengah malam dan siang hari. Firman Allah SWT, “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya.” (An-Nisa’: 136). Allah telah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk tetap beriman. Dan, hal itu bukan termasuk tahshilul hashil, karena maksudnya adalah ketetapan, kelangsungan, dan kesinambungan amal yang dapat membantu kepada hal tersebut. Allah SWT juga berfirman memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk mengucapkan (doa):
Abu Bakar ash-Shidiq pernah membaca ayat ini dalam rekaat ketiga pada salat Maghrib secara sirri (tidak keras) setelah selesai membaca Al-Fatihah. Dengan demikian, makna firman-Nya, “Ihdinashshirathal mustaqim” adalah “Semoga Engkau terus berkenan menunjuki kami di atas jalan yang lurus itu dan jangan Engkau simpangkan ke jalan yang lainnya.” Sumber: Terjemahan Lubabut Tafsir Min Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir), Tim Pustaka Imam as-Syafi’i ———————————————————————
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ ﴿٧﴾ Shirathalladzina an’amta ‘alaihim ghairilmaghdhubi’alaihim waladhdhalin
“(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) merela yang sesat.” (1: 7). Firman-Nya, “Shirathalladzina an’amta ‘alaihim” (Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka) adalah sebagai tafsir dari firman-Nya, jalan yang lurus. Dan merupakan badal (kata benda) menurut para ahli nahwu dan boleh pula sebagai athaf bayan (kata benda yang mengikuti kata benda sebelumnya), wallahu a’lam. Orang orang yang diberikan nikmat oleh Allah SWT itu adalah orang-orang yang tersebut dalam surat An-Nisa’, Dia berfirman; وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَـٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَـٰئِكَ رَفِيقًا ﴿٦٩﴾ ذَٰلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللَّهِ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ عَلِيمًا ﴿٧٠﴾
Dan, firman-Nya, “ghairilmaghdhubi’alaihim waladhdhalin” (bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat). Jumhur ulama membaca “ghairi” dengan memberikan kasrah pada hurup ra’, yang kedudukannya sebagai naat (sifat). Az-Zamakhsyari mengatakan, dibaca juga dengan memakai harakat fathah di atasnya, yang menunjukkan haal (keadaan). Itu adalah bacaan Rasulullah saw, Umat bin Khaththab, dan riwayat dari Ibnu Katsir. Dzul haal adalah dhamir dalam kata “‘alaihim”, sedangkan ‘amil ialah lafaz “an’amta”. Artinya, tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau berikan nikmat kepadanya. Yaitu, mereka yang memperoleh hidayah, istiqamah, dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, serta mengerjakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Bukannya jalan orang-orang yang mendapat murka, yang kehendak mereka telah rusak, sehingga meskipun mereka telah mengetahui kebenaran, namun menyimpang darinya. Bukan juga jalan orang-orang yang sesat, yaitu orang-orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan, sehingga mereka berada dalam kesesatan serta tidak mendapatkan jalan menuju kebenaran. Pembicaraan di sini dipertegas dengan kata “la” (bukan), guna menunjukkan bahwa di sana terdapat dua jalan yang rusak, yaitu jalan orang-orang Yahudi dan jalan orang-orang Nasrani. Juga untuk membedakan antara kedua jalan itu agar setiap orang menjauhkan diri darinya. Jalan orang-orang ayang beriman itu mencakup pengetahuan akan kebenaran dan pengamalannya, sementara itu orng-orang Yahudi tidak memiliki amal, sedangkan orang-orang Nasrani tidak memiliki ilmu (agama). Oleh karena itu, kemurkaan bagi orang-orang Yahudi, sedangkan kesesatan bagi orang-orang Nasrani. Karena orang yang berilmu tetapi tidak mengamalkannya itu berhak mendapatkan kemurkaan, berbeda dengan orang yang tidak memiliki ilmu. Sedang orang Nasrani ketika hendak menuju kepada sesuatu, mereka tidak memperoleh petunjuk kepada jalannya, hal itu karena mereka tidak menempuhnya melalui jalan yang sebenarnya, yaitu mengikuti kebenaran, maka mereka pun masing-masing tersesat. Orang Yahudi dan Nasrani adalah sesat dan mendapat murka. Namun, sifat Yahudi yang paling khusus adalah mendapat kemurkaan, sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala mengenai diri mereka (orang-orang Yahudi), “Yaitu orang-orang yang dilaknat dan dimurkai Allah.” (Al-Maidah: 60). Adapun sifat Nasrani yang paling khusus adalah kesesatan, sebagaimana firman-Nya mengenai ihwal mereka, قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِن قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيرًا وَضَلُّوا عَن سَوَاءِ السَّبِيلِ ﴿٧٧﴾
Masalah ini banyak disebutkan dalam hadis dan atsar, dan hal itu cukup jelas. Catatan: Surat Al-Fatihah ini juga mengandung targhib (anjuran) untuk mengerjakan amal saleh agar mereka dapat bergabung bersama-sama dengan orang yang beramal saleh pada hari kiamat kelak. Serta, mengingatkan agar mereka tidak menempuh jalan kebatilan supaya mereka tidak digiring bersama penempuh jalan tersebut pada hari kiamat, yaitu mereka yang dimurkai dan tersesat. 2. Seusai membaca Al-Fatihah dusunnahkan bagi seseorang untuk mengucapkan amin. Seperti ucapan yasin. Boleh juga mengucapkan amin dengan alif dibaca pendek, artinya adalah “ya Allah kabulkanlah”. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi, dari Wail bin Hujur, katanya aku pernah mendengar Nabi saw membaca, “Ghairilmaghdhubi’alaihim waladhdhalin”, lalu beliau mengucapkan, “Amin” dengan memanjangkan suaranya. Adapun menurut riwayat Abu Dawud, dan beliau mengangkat suaranya. At-Tirmidzi mengatakan, hadis ini hasan. Hadis ini diriwayatkan juga dari Ali, Ibnu Mas’ud, dan lain-lainnya. Dari Abu Hurairah, katanya, apabila Rasulullah saw membaca, “Ghairilmaghdhubi’alaihim waladhdhalin”, mak beliau mengucapkan, “Amin.” Sehigga, terdengar oleh orang-orang yang di belakangnya pada barisan pertama. Hadis riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah. Ibnu Majah menambahkan pada hadis tersebut dengan kalimat, “Sehingga masjid bergetar karenanya.” Serta (hadis ini pun diriwayatkan oleh) ad-Daruquthni, ia mengatakan, hadis ini berisnad hasan. Sahabat kami dan lain-lainnya mengatakan, “Disunnahkan juga mengucapkan ‘amin’ bagi orang yang membacanya di luar salat. Dan lebih ditekankan bagi orang yang mengerjakan salat, baik ketika munfarid (sendiri) maupun sebagai imam atau makmum, serta dalam keadaan apa pun, berdasarkan hadis dalam kitab sahih al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasuullah saw bersabda, “Jika seorang imam mengucapkan amin, mak ucapkanlah amin, sesungguhnya barangsiapa yang ucapan aminnya bertepatan dengan aminnya malaikat, maka akan diberikan ampunan baginya atas dosa-dosanya yang telah lalu.” Menurut riwayat Muslim, Rasulullah saw bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian mengucapkan amin di dalam salat, dan malaikat di langit juga mengucapkan amin, lalu masing-masing ucapan amin dari keduanya saling bertepatan, maka akan diberikan amunan baginya atas dosa-dosanya yang telah lalu.” Ada yang mengatakan, artinya, barangsiapa yang waktu mengucapkan aminnya bersamaan dengan amin yang diucapkan malaikat. Ada juga yang berpendapat bahwa maksudnya, bersamaan dalam pengucpannya. Dan ada yang berpendapat, kebersamaan itu dalam ha keikhlasan. Dalam sahih Muslim diriwayatkan hadis marfu’ dari Abu Musa, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Jika seorang imam telah membacakan waladh dhallin, maka ucapkan, ‘Amin’. Niscaya Allah mengabulkan permohonan kalian.” Majoriti ulama mengatakan bahwa makna amin itu adalah ya Allah perkenankanlah untuk kami. Para sahabat Imam Malik berpendapat, seorang imam tidak perlu mengucapkan amin, cukup makmum saja yang mengucapkannya. Berdasarkan pada hadis riwayat Imam Malik dari Sami, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda, “Jika seorang imam telah membaca waladh dhallin, maka ucapkan, ‘Amin’.” Mereka juga menggunakan hadis dari Abu Musa a-Asy’ari yang diriwayatkan Muslim, Rasulullah sw bersabda, “Jika ia telah membaca waladh dhallin, maka ucapkan, ‘Amin’.” Dan kami kemukakan di atas dalam hadis dalam muttafaq ‘alaih, “Jika seorang imam telah mengucapkan, ‘Amin’, maka ucapkanlah, ‘Amin’.” Dan Rasulullah saw sendiri mengucapkan amin ketika beliau selesai membaca ghairilmaghdhubi’alaihim waladhdhalin. Para sahabat kami telah berbeda pendapat mengenai jahr (suara keras) bagi makmum dalam mengucapkan amin dalam jahrnya. Kesimpulan perbedaan pendapat itu, bahwa jika seorang imam lupa mengucapkan amin, maka makmum harus serempak mengucapkannya dengan suara keras. Dan jika sang imam telah mengucapkannya dengan suara keras, (menurut) pendapat yang baru menyatakan bahwa para makmum tidak mengucapkannya dengan suara keras. (Pendapat) yang terakhir ini juga merupakan pendapat Abu Hanifah dan sebuah riwayat dari Imam Malik, karena amin itu merupakan salah satu bentuk zikir sehingga tidak perlu dikeraskan sebagaimana halnya zikir-zikir salat lainnya. Sedangkan pendapat yang lama menyatakan bahwa para makmum juga perlu mengucapkannya dengan suara keras. Hal itu merupakan pendapat Imam Ahmad dan Hanbal dan sebuah riwayat yang lain dari Imam Malik seperti yang telah disebutkan di atas, berdasarkan hadis, “Sehingga masjid bergetar (karenanya).” Sumber: Terjemahan Lubabut Tafsir Min Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir), Tim Pustaka Imam as-Syafi’i |
Filed under: TAFSIR AL-QUR'AN | Tagged: surah al-fatihah, tafsir al-fatihah | Leave a comment »