• SELAMAT DATANG

    Asalammu'alaikum wbt. Blog ini membicarakan pelbagai topik agama yang merangkumi Artikel Umum, Akhir Zaman, Al-Quran, Hidayah Allah, Kebangkitan Islam, Satanisme, As-Siyasah, Doa & Bacaan, Fiqh Ibadah, Darah Wanita, Haji & Umrah, Korban & Akikah, Puasa, Solat, Toharoh, Zakat, Fiqh Muamalat, Hadis Pilihan, Ilmuwan Islam, Isu Semasa, Budaya Kufur, Islam Liberal, Pluralisme, Sekularisme, Syiah, Wahabiyyah, Kebesaran Allah, Kisah Teladan, Qishosul Anbiya', Sejarah Islam, Sirah Nabawi, Tafsir Al-Qur'an, Tasawwuf & Akhlak, Tauhid / 'Aqidah, Tazkirah, Akhirat, Bulan Islam, Kematian, Kisah Al-Quran, Tokoh Muslim, Ulama' Nusantara, Video Agama dan sebagainya. Semoga pembaca mendapat faedah ilmu dari pembacaan artikel dalam blog ini.. dalam mencari rahmat, keampunan dan keredhaan Illahi. InsyaAllah Ta'ala.

  • Pusat Latihan WoodValley Village, Sg. Congkak, Hulu Langat, kini dibuka untuk Penginapan Percutian, Program Hari Keluarga, Team Building dan Penempatan Kursus. Untuk tempahan dan info lanjut, sila hubungi:

    1) Arshad: 016-700 2170 2) Fahmi: 017-984 9469 3) Azleena: 012-627 2457

    [[ Download Brochure ]]

    [[Lawat Laman Web]

    -------------------------------------------
  • Klik untuk subscribe ke blog ini dan anda akan menerima email pemberitahuan tentang artikel terbaru. Taipkan email anda di kotak bawah:

    Join 68 other subscribers
  • KLIK PAUTAN

SURAH AL-FATIHAH (سورة الفاتحة) – BAH. AKHIR


إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ﴿٥﴾

Iyyakana’budu wa iyya kanasta’in (Hanya Engkaulah yang kami iembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan).

Para ahli qira’at sab’ah dan jumhurul ulama membacanya dengan memberikan tasydid pada huruf ya’ pada kata iyyaka dibaca dengan memfathahkan huruf nun yang pertama, menurut bacaan seluruh ahli qira’at. Menurut bahasa, kata ibadah berarti tuntuk patuh. Sedangkan menurut syariat, ibadah berarti ungkapan dari kesempurnaan cinta, ketundukan, dan ketakutan.

Didahulukannya maf’ul (objek), yaitu kata iyyaka, dan (setelah itu) diulangi lagi, adalah dengan tujuan untuk mendapatkan perhatian dan juga sebagai pembatasan. Artinya, “Kami tidak beribadah kecuali kepada-Mu, dan kami tidak bertawakal kecuali hanya kepada-Mu.” Dan inilah puncak kesempurnaan ketaatan. Dan dien (agama) itu secara keseluruhan kembali kepada kedua makna di atas.

Yang demikian itu seperti kata sebagian ulama salaf, bahwa surat Al-Fatihah adalah rahasia Alquran, dan rahasia Al-Fatihah terletak pada ayat Iyyakana’budu wa iyya kanasta’in (Hanya Engkaulah yang kami ibadahi dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan).

Penggalan pertama, yakni “Hanya kepada-Mu kami beribadah” merupakan pernyataan lepas dari kemusyrikan. Sedangkan pada penggalan kedua, yaitu, “Hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan” merupakan sikap berlepas diri dari upaya dan kekutan serta berserah diri kepada Allah SWT.

Makna seperti ini tidk hanya terdapat dalam satu ayat Alquran saja, seperti firman-Nya;

وَلِلَّهِ غَيْبُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَإِلَيْهِ يُرْجَعُ الْأَمْرُ كُلُّهُ فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ ۚ وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ ﴿١٢٣﴾

Dan Allah jualah yang mengetahui rahsia langit dan bumi dan kepadaNyalah dikembalikan segala urusan. Oleh itu, sembahlah akan Dia serta berserahlah kepadaNya dan (ingatlah), Tuhanmu tidak sekali-kali lalai akan apa yang kamu lakukan.(Huud: 123).

Dalam ayat tersebut (Al-Fatihah: 5) terjadi perubahan bentuk dari ghaib (orang ketiga) kepada mukhathab (orang kedua, lawan bicara) yang ditandai dengan huruf kaf pada kata iyyaka. Yang demikian itu memang selaras karena ketika seorang hamba memuji kepada Allah, maka seolah-olah ia merasa dekat dan hadir di hadapan-Nya. oleh karena itu, Dia berfirman, “Iyyakana’budu wa iyya kanasta’in.”

Ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa pada awal-awal surat Al-Fatihah merupakan pemberitahuan dari Allah SWT yang memberikan pujian kepada diri-Nya sendiri dengan berbagai sifat-Nya yang Agung, serta petunjuk kepada hamba-hamba-Nya agar memuji-Nya dengan pujian tersebut.

Dalam shahih Muslim, diriwayatkan dari al-‘Ala’ bn Abdur Rahman, dari ayahnya, dari Abu Hurairah ra, Nabi saw bersabda, “Aku telah membagi salat dua bagian antara diri-Ku dan hamba-Ku. Bagi hamba-Ku apa yang ia minta. Jika ia mengucapkan, ‘Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam’, maka Allah berfirman, ‘Hambaku telah memuji-Ku’. Dan jika ia mengucapkan, ‘Yang menguasai hari pembalasan’, maka Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah memulikan-Ku’. Jika ia mengucapkan, ‘Hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan’, maka Allah berfirman, ‘Inilah bagian antara hamba-Ku dan diri-Ku. Untuk hamba-Ku apa yang ia minta’. Dan jika ia mengucapkan,'”Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau enugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai (Yahudi), dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (Nashrani)’, maka Allah berfirman, “Ini untuk hamba-Ku dan bagi hamba-Ku pula apa yang ia minta’.”

Iyya kana’budu didahulukan dari wa iyya kanasta’in, karena ibadah kepada-Nya memrupakan tujuan, sedangkan permohonan pertolongan merupakan sarana untuk beribadah. Yang terpenting lebih didahuukan dari sekedar penting, wallahu a’lam.

Jika ditanyakan, lalu apa makna huruf nun pada firman Allah SWT, “Iyyakana’budu wa iyya kanasta’in,” jika nun itu dimaksudkan sebagai bentuk jama’, padahal orang yang mengucpkan hanya satu orng, dan jika untuk pengagungan, maka yang demikian itu tidak sesuai dengan kondisi?

Pertanyaan di atas dapat dijawab bahwa yang dimaksudkan dengan huruf nun (kami) itu adalah untuk memberitahukan mengenai jenis hamba, dan orang yang salat merupakan salah satu darinya, apalagi jika orang-orang melakukannya secara berjamaah. Atau, imam dalam salat memberitahukan tentang dirinya sendiri dan juga saudara-saudaranya yang beriman tentang ibadah, yang untuk tujuan inilah mereka diciptakan.

Ibadah merupakan maqam (kedudukan) yang sangat agung, yang dengannya seorang hamba menjadi mulia, bukan kerana penyerahan diri kepada Allah Ta’ala sahaja, dan Dia telah menyebut Rasul-Nya sebagai hamba-Nya yang menempati maqam yang mulia. Firman Allah,

Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam.” (Al-isra’: 1).

Allah telah menyebutkan Muhammad saw sebagai seorang hamba ketika menurunkan Alquran kepadanya, ketika beliau menjalankan dakwahnya dan ketika diperjalankan pada malam hari. Dan Dia membimbingnya untuk senantiasa menjalankan ibadah pada saat-saat hatinya merasa sesak akibat pendustaan orang-orang yang menentangnya.

Dia berfirman,

وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُولُونَ ﴿٩٧﴾ فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَكُن مِّنَ ٱلسَّـٰجِدِينَ ﴿٩٨﴾ وَٱعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ ٱلْيَقِينُ ﴿٩٩﴾

(97) Dan demi sesungguhnya Kami mengetahui, bahawa engkau bersusah hati dengan sebab apa yang mereka katakan. (98) Oleh itu, bertasbihlah engkau dengan memuji Tuhanmu, serta jadilah dari orang-orang yang sujud. (99) Dan sembahlah Tuhanmu, sehingga datang kepadamu (perkara yang tetap) yakin. (Al-Hijr: 97 — 99).

Sumber: Terjemahan Lubabut Tafsir Min Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir), Tim Pustaka Imam as-Syafi’i

———————————————————————

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ﴿٦﴾

Ihdinashshirathal mustaqim Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (1: 6).

Para jumhurul ulama membacnya dengan memakai huruf “shod”. Ada pula yang membaca dengan huruf “za” (azzirath). Al-Farra’ mengatakan, “Hal ini merupakan bahasa Bani Udzrah dan Bani Kalab.”

Setelah menyampaikan pujian kepada Allah SWT, dan hanya kepada-Nya permohonan ditujukan, maka layaklah jika hal itu diikuti dengan permintaan. Sebagaimana firman-Nya, “Setengah untuk-Ku dan setengah lainnya untuk hamba-Ku. Dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta.”

Yang demikian itu merupakan keadaan yang amat sempurna bagi seorang yang mengajukan permintaan. Pertama, ia memuji Rabb yang akan diajukan permintaan kepada-Nya dan kemudian memohon keperluannya sendiri dan keperluan saudara-saudaranya dari kalangan orang-orang yang beriman, melalui ucapannya, “Ihdinashshirathal mustaqim” (Tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus).

Karena, yang demikian itu akan lebih memudahkan pemberian apa yang dihajatkan dan lebih cepat untuk dikabulkan. Untuk itu Allah Tabaraka wa Ta’ala membimbing kitya agar senantiasa melakukannya, sebab yang demikian itu lebih sempurna.

Permohonan juga dapat diajukan dengan cara memberitahukan keadaan dan kebutuhan orang yang mengajukan permintaan tersebut. Sebagaimana yang diucapkan Musa as, “Ya Rabbku, sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” (Al-Qashash: 24).

Permintaan itu bisa di dahului sebelumnya dengan menyebutkan sifat-sifat yang akan diminati, seperti ucapan Dzun Nun (Nabi Yunus as), Tidak ada ilah selain Emngkau. Maha suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang dzalim.” (Al-Anbiya: 87).

Tetapi, terkadang hanya dengan memuji kepada-Nya, ketika meminta, sebagaimana yang diungkapkan ooleh seorang penyair:

Apakah aku harus menyebutkan kebutuhanku, ataukah cukup bagiku rasa malumu
Sesungguhnya rasa malu merupakan adat kebiasaanmu
Jika suatu hari seseorang memberikan pujian kepadamu,niscaya engkau akan memberinya kecukupan

Kata hidayah pada ayat ini berarti bimbingan dan taufik. Terkadang kata hidayah (muta addi/transitfi) dengan sendirinya (tanpa huruf lain yang berfungsi sebagai pelengkapnya), seperti pada firman-Nya di sini, “Tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus.” Dalam ayat tersebut terkandung makna, berikanlah ilham kepada kami, berikanlah taufik kepada kami, berikanlah rezeki kepada kami, atau berikanlah anugerah kepada kami.

Sebagaiamana yang ada pada firman-Nya, “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan.” (Al-Balad: 10). Artinya, kami telah menjelaskan kepadanya jalan kebaikan dan jalan kejahatan. Selain itu, dapat juga menjadi muta addi’ (transitif) dengan memakai kata “ila”, sebagaimana firman-Nya, “Allah telah memilihnya dan menunjukkannya kepada jalan yang lurus.” (An-Nahl: 121).

Makna hidayah dalam ayat-ayat di atas ialah dengan pengertian bimbingan dan petunjuk. Demikian juga firman-Nya, Dan sesungguhnya engkau (Rasulullah saw) benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Asy-Syura’: 52).

Terkadang kata hidayah menjadi muta addi dengan memakai kata “li” sebagaimana yang diucapkan oleh para penghuni surga, “Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada surga ini.” (Al-A’raf: 43), Artinya, Allah memberikan taufik kepada kami untuk memperoleh surga ini dan Dia jadikan kami sebagai penghuninya.

Sedangkan mengenai firman-Nya, “Syirathal mustaqim”, Imam Abu Ja’far bin Jarir mengatakan, ahlut tafsir secara keseluruhan sepakat bahwa ash-shirathal mustaqim itu adalah jalan yang terang dan lurus.

Kemudian terjadi perbedaan ungkapan para mufassir, baik dari kalangan ulama salaf maupun khalaf dalam menafsirkan kata ash-shirath, meskipun pada prinsipnya kembali kepada satu makna, yaitu mengikuti Allah dan Rasul-Nya.

Jika ditanyakan, mengapa seorang mukmin meminta hidayah pada setiap saat, baik pada waktu mengerjakan salat maupun di luar salat, padahal ia sendiri menyandang sifat itu. Apakah yang demikian itu termasuk tahshilul bashil (berusha memperoleh sesuatu yang sudah ada)?

Jawabnya adalah tidak. Kalau bukan karena dia perlu memohon hidayah siang dan malam hari, niscaya Allah SWT tidak akan membimbing ke arah itu. Sebab, seornag hamba senantiasa membutuhkan Allah setiap saat dan situasi agar diberikan keteguhan, kemantapan, penambahan, dan kelangsungan hidayah, karena ia tidak kuasa membarikan manfaat atau mudharat kepada dirinya sendiri kecuali Allah menghendaki.

Oleh karena itu, Allah SWT selalu membimbingnya agar ia senantiasa memohon kepada-Nya setiap saat dan supaya Dia memberikan pertolongan, keteguhan, dan taufik.

Orang yang berbahagia adalah orang yang diberi Allah taufik untuk memohon kepada Allah. Sebab, Allah telah menjamin akan mengabulkan permohonan seseorang jika ia memohon kepada-Nya, apalagi permohonan orang yang dalam keadaan terdesak dan sangat membutuhkan bantuan-Nya pada tengah malam dan siang hari. Firman Allah SWT, “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya.” (An-Nisa’: 136).

Allah telah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk tetap beriman. Dan, hal itu bukan termasuk tahshilul hashil, karena maksudnya adalah ketetapan, kelangsungan, dan kesinambungan amal yang dapat membantu kepada hal tersebut.

Allah SWT juga berfirman memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk mengucapkan (doa):

Ya Rabb kami, jangan Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, karena sesungguhnya Engkau Maha Pemberi (karunia).” (Ali Imran: 8).

Abu Bakar ash-Shidiq pernah membaca ayat ini dalam rekaat ketiga pada salat Maghrib secara sirri (tidak keras) setelah selesai membaca Al-Fatihah.

Dengan demikian, makna firman-Nya, “Ihdinashshirathal mustaqim” adalah “Semoga Engkau terus berkenan menunjuki kami di atas jalan yang lurus itu dan jangan Engkau simpangkan ke jalan yang lainnya.”

Sumber: Terjemahan Lubabut Tafsir Min Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir), Tim Pustaka Imam as-Syafi’i

———————————————————————

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ ﴿٧﴾

Shirathalladzina an’amta ‘alaihim ghairilmaghdhubi’alaihim waladhdhalin

“(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) merela yang sesat.” (1: 7).

Firman-Nya, “Shirathalladzina an’amta ‘alaihim” (Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka) adalah sebagai tafsir dari firman-Nya, jalan yang lurus. Dan merupakan badal (kata benda) menurut para ahli nahwu dan boleh pula sebagai athaf bayan (kata benda yang mengikuti kata benda sebelumnya), wallahu a’lam.

Orang orang yang diberikan nikmat oleh Allah SWT itu adalah orang-orang yang tersebut dalam surat An-Nisa’,

Dia berfirman;

وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَـٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَـٰئِكَ رَفِيقًا ﴿٦٩﴾ ذَ‌ٰلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللَّهِ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ عَلِيمًا ﴿٧٠﴾

Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiqun, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui.” (An-Nisa’: 69 — 70).

Dan, firman-Nya, “ghairilmaghdhubi’alaihim waladhdhalin” (bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat). Jumhur ulama membaca “ghairi” dengan memberikan kasrah pada hurup ra’, yang kedudukannya sebagai naat (sifat). Az-Zamakhsyari mengatakan, dibaca juga dengan memakai harakat fathah di atasnya, yang menunjukkan haal (keadaan). Itu adalah bacaan Rasulullah saw, Umat bin Khaththab, dan riwayat dari Ibnu Katsir. Dzul haal adalah dhamir dalam kata “‘alaihim”, sedangkan ‘amil ialah lafaz “an’amta”.

Artinya, tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau berikan nikmat kepadanya. Yaitu, mereka yang memperoleh hidayah, istiqamah, dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, serta mengerjakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Bukannya jalan orang-orang yang mendapat murka, yang kehendak mereka telah rusak, sehingga meskipun mereka telah mengetahui kebenaran, namun menyimpang darinya. Bukan juga jalan orang-orang yang sesat, yaitu orang-orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan, sehingga mereka berada dalam kesesatan serta tidak mendapatkan jalan menuju kebenaran.

Pembicaraan di sini dipertegas dengan kata “la” (bukan), guna menunjukkan bahwa di sana terdapat dua jalan yang rusak, yaitu jalan orang-orang Yahudi dan jalan orang-orang Nasrani. Juga untuk membedakan antara kedua jalan itu agar setiap orang menjauhkan diri darinya.

Jalan orang-orang ayang beriman itu mencakup pengetahuan akan kebenaran dan pengamalannya, sementara itu orng-orang Yahudi tidak memiliki amal, sedangkan orang-orang Nasrani tidak memiliki ilmu (agama). Oleh karena itu, kemurkaan bagi orang-orang Yahudi, sedangkan kesesatan bagi orang-orang Nasrani. Karena orang yang berilmu tetapi tidak mengamalkannya itu berhak mendapatkan kemurkaan, berbeda dengan orang yang tidak memiliki ilmu.

Sedang orang Nasrani ketika hendak menuju kepada sesuatu, mereka tidak memperoleh petunjuk kepada jalannya, hal itu karena mereka tidak menempuhnya melalui jalan yang sebenarnya, yaitu mengikuti kebenaran, maka mereka pun masing-masing tersesat. Orang Yahudi dan Nasrani adalah sesat dan mendapat murka. Namun, sifat Yahudi yang paling khusus adalah mendapat kemurkaan, sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala mengenai diri mereka (orang-orang Yahudi), “Yaitu orang-orang yang dilaknat dan dimurkai Allah.” (Al-Maidah: 60).

Adapun sifat Nasrani yang paling khusus adalah kesesatan, sebagaimana firman-Nya mengenai ihwal mereka,

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِن قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيرًا وَضَلُّوا عَن سَوَاءِ السَّبِيلِ ﴿٧٧﴾

(77) Katakanlah: Wahai Ahli Kitab! Janganlah kamu melampau dalam agama kamu secara yang tidak benar dan janganlah kamu menurut hawa nafsu suatu kaum yang telah sesat sebelum ini dan telah menyesatkan banyak manusia dan juga (sekarang) mereka telah tersesat (jauh) dari jalan yang betul.(Al-Maidah: 77).

Masalah ini banyak disebutkan dalam hadis dan atsar, dan hal itu cukup jelas.

Catatan:
1. Surat yang terdiri dari tujuh ayat ini mengandung pujian, pemuliaan, dan pengagungan kepada Allah SWT melalui penyebutan asmaul husna milik-Nya, disertai adanya sifat-sifat yang maha sempurna. Jug mencakup penyebutan tempat kembali manusia, yaitu hari pembalasan. Selain itu berisi bimbingan kepada para hamba-Nya agar mereka memohon dan tunduk kepada-Nya serta melepaskan upaya dan kekuatan diri mereka untuk selanjutnya secara tulus ikhlas mengabdi kepada-Nya, meng-Esakan dan menyucikan-Nya dari sekutu atau tandingan. Juga berisi bimbingan agar mereka memohon petunjuk kepada-Nya ke jalan yang lurus, yaitu agama yng benar serta menetapkan mereka pada jalan tersebut, sehingga ditetapkan bagi mereka untuk menyeberangi jalan yan tampak konkret pada hari kiamat kelak menuju ke surga di sisi para nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang saleh.

Surat Al-Fatihah ini juga mengandung targhib (anjuran) untuk mengerjakan amal saleh agar mereka dapat bergabung bersama-sama dengan orang yang beramal saleh pada hari kiamat kelak. Serta, mengingatkan agar mereka tidak menempuh jalan kebatilan supaya mereka tidak digiring bersama penempuh jalan tersebut pada hari kiamat, yaitu mereka yang dimurkai dan tersesat.

2. Seusai membaca Al-Fatihah dusunnahkan bagi seseorang untuk mengucapkan amin. Seperti ucapan yasin. Boleh juga mengucapkan amin dengan alif dibaca pendek, artinya adalah “ya Allah kabulkanlah”. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi, dari Wail bin Hujur, katanya aku pernah mendengar Nabi saw membaca, “Ghairilmaghdhubi’alaihim waladhdhalin”, lalu beliau mengucapkan, “Amin” dengan memanjangkan suaranya.

Adapun menurut riwayat Abu Dawud, dan beliau mengangkat suaranya. At-Tirmidzi mengatakan, hadis ini hasan. Hadis ini diriwayatkan juga dari Ali, Ibnu Mas’ud, dan lain-lainnya.

Dari Abu Hurairah, katanya, apabila Rasulullah saw membaca, “Ghairilmaghdhubi’alaihim waladhdhalin”, mak beliau mengucapkan, “Amin.” Sehigga, terdengar oleh orang-orang yang di belakangnya pada barisan pertama. Hadis riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah. Ibnu Majah menambahkan pada hadis tersebut dengan kalimat, “Sehingga masjid bergetar karenanya.” Serta (hadis ini pun diriwayatkan oleh) ad-Daruquthni, ia mengatakan, hadis ini berisnad hasan.

Sahabat kami dan lain-lainnya mengatakan, “Disunnahkan juga mengucapkan ‘amin’ bagi orang yang membacanya di luar salat. Dan lebih ditekankan bagi orang yang mengerjakan salat, baik ketika munfarid (sendiri) maupun sebagai imam atau makmum, serta dalam keadaan apa pun, berdasarkan hadis dalam kitab sahih al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasuullah saw bersabda, “Jika seorang imam mengucapkan amin, mak ucapkanlah amin, sesungguhnya barangsiapa yang ucapan aminnya bertepatan dengan aminnya malaikat, maka akan diberikan ampunan baginya atas dosa-dosanya yang telah lalu.”

Menurut riwayat Muslim, Rasulullah saw bersabda, Jika salah seorang di antara kalian mengucapkan amin di dalam salat, dan malaikat di langit juga mengucapkan amin, lalu masing-masing ucapan amin dari keduanya saling bertepatan, maka akan diberikan amunan baginya atas dosa-dosanya yang telah lalu.”

Ada yang mengatakan, artinya, barangsiapa yang waktu mengucapkan aminnya bersamaan dengan amin yang diucapkan malaikat. Ada juga yang berpendapat bahwa maksudnya, bersamaan dalam pengucpannya. Dan ada yang berpendapat, kebersamaan itu dalam ha keikhlasan.

Dalam sahih Muslim diriwayatkan hadis marfu’ dari Abu Musa, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Jika seorang imam telah membacakan waladh dhallin, maka ucapkan, ‘Amin’. Niscaya Allah mengabulkan permohonan kalian.”

Majoriti ulama mengatakan bahwa makna amin itu adalah ya Allah perkenankanlah untuk kami.

Para sahabat Imam Malik berpendapat, seorang imam tidak perlu mengucapkan amin, cukup makmum saja yang mengucapkannya. Berdasarkan pada hadis riwayat Imam Malik dari Sami, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda, “Jika seorang imam telah membaca waladh dhallin, maka ucapkan, ‘Amin’.”

Mereka juga menggunakan hadis dari Abu Musa a-Asy’ari yang diriwayatkan Muslim, Rasulullah sw bersabda, “Jika ia telah membaca waladh dhallin, maka ucapkan, ‘Amin’.”

Dan kami kemukakan di atas dalam hadis dalam muttafaq ‘alaih, “Jika seorang imam telah mengucapkan, ‘Amin’, maka ucapkanlah, ‘Amin’.”

Dan Rasulullah saw sendiri mengucapkan amin ketika beliau selesai membaca ghairilmaghdhubi’alaihim waladhdhalin.

Para sahabat kami telah berbeda pendapat mengenai jahr (suara keras) bagi makmum dalam mengucapkan amin dalam jahrnya. Kesimpulan perbedaan pendapat itu, bahwa jika seorang imam lupa mengucapkan amin, maka makmum harus serempak mengucapkannya dengan suara keras. Dan jika sang imam telah mengucapkannya dengan suara keras, (menurut) pendapat yang baru menyatakan bahwa para makmum tidak mengucapkannya dengan suara keras.

(Pendapat) yang terakhir ini juga merupakan pendapat Abu Hanifah dan sebuah riwayat dari Imam Malik, karena amin itu merupakan salah satu bentuk zikir sehingga tidak perlu dikeraskan sebagaimana halnya zikir-zikir salat lainnya. Sedangkan pendapat yang lama menyatakan bahwa para makmum juga perlu mengucapkannya dengan suara keras. Hal itu merupakan pendapat Imam Ahmad dan Hanbal dan sebuah riwayat yang lain dari Imam Malik seperti yang telah disebutkan di atas, berdasarkan hadis, “Sehingga masjid bergetar (karenanya).”

Sumber: Terjemahan Lubabut Tafsir Min Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir), Tim Pustaka Imam as-Syafi’i

SURAH AL-FATIHAH (سورة الفاتحة) – BAH. 3


االرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ ﴿٣﴾

Arrahmanirahim, mengenai pembahasannya telah dikemukan dalam pembahasan basmalah, sehingga tidak perlu diulangi lagi.

Al-Qurthubi mengatakan, Allah menyifati diri-Nya dengan ar-rahman dan ar-rahim setelah rabbul ‘alamin, untuk meyelingi anjuran (targhib) sesudah peringatan (tahib). Sebagaimana difirmankan-Nya yang artinya,

Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Akulah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, dan bahwa sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang sangat pedih.

Juga fiman-Nya,

“Sesungguhnya Rabb-mu amat cepat siksa-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-An’am: 165).

Kata al-Quthubi selanjutnya, “Ar-Rabb merupakan peringatan, sedangkan ar-Rahman ar-Rahim meupakan anjuran. Dalam sahih Muslim disebutkan hadis yang diiwayatkan dari Abu Hurairah, katanya, Rasulullah saw bersabda yang artinya, ” Seandainya seorang mukmin mengetahui siksaan yang ada pada sisi Allah, niscaya tidak seorang pun yang bersemangat dalam (meraih) surga-Nya. Dan seandainya orang kafir mengetahui rahmat yang ada di sisi Allah, niscaya tidak akan ada seorang pun yang berputus asa untuk mendapatkan rahmat-Nya.”

———————————————————————

مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ ﴿٤﴾

Malikiyaumiddin (Yang menguasai hari pembalasan)

Sebahagian qura’ membaca malikiyaumiddin dengan meniadakan alif setelah huuf mim. Sementara, yang lainnya membacanya dengan menggunakan alif setelah mim. Kedua bacaan itu benar, dan mutawatir dalam qira’at sab’ah.

Malik berasal dari kata al-milk (kepemilikan), sebagaimana fiman-Nya yang artinya,

Sesungguhnya Kami mewarisi bumi dan semua orang yang ada di atasnya. Dan hanya kepada Kami-lah mereka dikembalikan.” (Maryam: 40).

Sedangkan malik berasal dari kata al-mulk, sebagaimana dalam firman-Nya surat Al-Mukmin ayat 16:lamanil mulkul yauma lillahil wahidil qahhar (“Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini? Kepunyaan Allah yang Maha Kuasa lagi Maha Mengalahkan.”).

Pengkhususan kerajaan pada hari pembalasan tersebut tidak menafikannya dari yang lain (kerajaan dunia), karena telah disampaikan sebelumnya bahwa Dia adalah Rabb semesta alam. Dan yang demikian itu jelas bersifat umum di dunia maupun di akhirat. Ditambahkannya kata yaumiddin (hari pembalasan), karena pada hari itu tidak ada seorang pun yang dapat mengaku sesuatu dan tidak juga dapat berbicara kecuali dengan seizin-Nya, sebagaimana firman Allah SWT:

“Pada hari ketika ruh dan para malaikat berdiri bershaf-shaf, mereka tidak berkata-kata kecuali siapa yang diberi izin kepadanya oleh Rabb yang Maha Pemurah, dan ia mengucapkan kata yang benar.” (An-Naba’: 38).

Hari pembalasan berarti hari perhitungan bagi semua makhluk, disebut juga sebagai hari kiamat. Mereka diberi balasan sesuai dengan amalnya. Jika amalnya baik maka balasannya pun baik. Jika amalnya buruk, maka balasannya pun buruk kecuali orang yang dimaafkan.

Pada hakikatnya al-malik adalah nama Allah, sebagaimana firman-Nya, Huwallahulladzi lailaha illahuwal malikul quddus salam yang artinya,

Dialah Allah yang tiada ilah [yang berhak disembah] selain Dia, Raja, yang Maha Suci, lagi Maha Sejahtera.” (Al-Hasyr: 23).

Dalam kitab shahih al-Bukhari dan Muslim, diriwayatkan hadis marfu’ dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Julukan yang paling hina di sisi Allah adalah seseorang yang menjuluki dirinya Malikul Amlak (raja diraja). Karena tidak ada malik (raja) yang sebenarnya kecuali Allah.”

Dalam kitab yang sama, juga dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda, “Allah (pada hari kiamat) akan menggenggam bumi dan melipat langit dengan tangan-Nya, lalu berfirman, Aku adalah raja, di manakah rajha-raja bumi, di manakah mereka yang merasa aperkasa, dan di mana orang-orang yang sombong?”

Dalam Alquran disebutkan, Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini? Kepunyaan Allah yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan.” (Al-Mukmin: 16).

Adapun penyebutan malik (raja) selain kepada-Nya di dunia hanyalah secara majaz (kiasan) belaka, tidak pada hakikatnya, sebagaiamana Allah SWT pernah mengemukakan, “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi raja bagi kalian.” (Al-Baqarah: 247).

Kata ad-din berarti pembalasan atau perhitungan. Allah SWT berfirman,Pada hari itu Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut semestinya.” (An-Nuur: 25).

Dia juga berfirman, “Apakah sesungguhnya kita benar-benar (akan dibangkitkan) untuk diberi pembalasan.” (Ash-Shaffat: 53).

Dalam sebuah hadis Rasulullah saw bersabda, “Orang cerdik adalah yang mau mengoreksi dirinya dan berbuat untuk (kehidupan) setelah kematian.” (HR at-Tirmizi, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Artinya, ia akan senantiasa menghitung-hitung dirinya, sebagaimana yang dikatakan oleh Umar bin al-Khaththab, “Hisablah (uatlah perhitungan untuk) diri kalian sendiri sebelum kalian dihisab, dan timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang. Dan bersiaplah untuk menghadapi hari yang besar untuk diperlihatkannya (amal seseorang), yang mana semua amal kalian tidak tersembunyi dari-Nya.”

Allah berfirman, “Pada hari itu kalian dihadapkan (kepada Rabb kalian), tiada sesuatu pun dari keadaan kalian yang tersembunyi (bagi-Nya).” (Al-Haaqqah: 18).

Sumber: Terjemahan Lubabut Tafsir Min Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir), Tim Pustaka Imam as-Syafi’i

SURAH AL-FATIHAH (سورة الفاتحة) – BAH. 2


Alhamdulillahirabbil’alamin

Abu Ja’far bin Jarir mengatakan, alhamdulillah berarti syukur kepada Allah SWT semata dan bukan kepada sesembahan selain-Nya, bukan juga kepada makhluk yang telah diciptakan-Nya, atas segala nikmat yang telah Dia anugerahkan kepada hamba-hamba-Nya yang tidak terhingga jumlahnya, dan tidak ada seorang pun selain Dia yang mengetahui jumlahnya. Berupa kemudahan berbagai sarana untuk menaati-Nya dan anugerah kekuatan fisik agar dapat menunaikan kewajiban-kewajibannya. Selain itu, pemberian rezeki kepada mereka di dunia, serta pelimpahan berbagai nikmat dalam kehidupan yang sama sekali mereka tidak memiliki hak atas hal itu, juga sebagai peringatan dan seruan kepada mereka akan sebab-sebab yang dapat membawa kepada kelanggengan hidup di surga tempat segala kenikmatan abadi. Hanya bagi Allah segala puji, baik di awal maupun di akhir.

alhamdulillah.”

Lebih lanjut Ibnu Jarir menyebutkan, telah dikenal di kalangan para ulama mutaakhirin bahwa al-hamdu adalah pujian melalui ucapan kepada yang berhak mendapatkan pujian disertai penyebutan segala sifat-sifat baik yang berkenan dengan dirinya maupun berkenan dengan pihak lain. Adapun asy-syukur tiada lain kecuali dilakukan terhadap sifat-sifat yang berkenaan dengan lainnya, yang disampaikan melalui hati, lisan, dan anggota badan, sebagaiamana diungkapkan oleh seorang penyair yang artinya:


Yaitu melalui kedua tanganku, lisanku, dan hatiku yang tidak tampak ini.”

Namun demikian, mereka berbeda pendapat mengenai mana yang lebih umum, al-hamdu ataukah asy-syukuru. Mengenai hal ini terdapat dua pendapat. Setelah diteliti antara keduanya terdapat keumuman dan kekhususan. Alhamdu lebih umum daripada asy-syukru, karena terjadi pada sifat-sifat yang berkenaan dengan diri sendiri dan dengan pihak lain, misalnya Anda katakan, “Aku memujinya (al-hamdu) karena sifatnya yang kesatria dan karena kedermawanannya.” Tetapi, juga lebih khusus karena hanya bisa diungkapkan melalui ucapan. Sedangkan asy-syukru lebih umum daripada al-hamdu, karena ia dapat diungkapkan melalui ucapan, perbuatan, dan juga niat, tetapi lebih khusus karena tidak bisa dikatakan bahwa aku berterima kasih kepadanya atas sifatnya yang kesatria. Namun, bisa dikatakan aku berterima kasih kepadanya atas kedermawanan dan kebaikannya kepadaku.

Demikian itulah yang disimpulkan sebagian ulama mutaakhirin, wallahua’lam.

Diriwayatkan dari al-Aswad bin Sari, katanya, aku berkata kepada Nabi saw, “Ya Rasulullah, maukan engkau aku puji dengan berbagai pujian seperti yang aku sampaikan untuk Rabb-ku, Allah Tabaraka wa Ta’ala.” Maka beliau bersabda, “Adapun, (sesungguhnya) Rabb-mu menyukai pujian (al-hamdu).” (HR Imam Ahmad dan Nasa’i).

Diriwayatkan Abu Isa, at-Tirmizi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah, dari Jabir bin Abdullah, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, “Sebaik-baik zikir adalah kalimat Laa ilaaha illaa Allah, dan sebaik-baik doa adalah alhamdulillah.”

Menurut at-Tirmizi, hadis ini hasan gharib. Dan diriwayatkan Ibnu Majah dari Anas bin Malik ra, katanya, Rasulullah saw bersabda, “Allah tidak menganugerahkan suatu nikmat kepada seorang hamba, lalu ia mengucapkan, alhamdulillah, melainkan apa yang diberikan-Nya itu lebih baik daripada yang diambil-Nya.”

Alif dan lam pada kata alhimdu dimaksudkan untuk melengkapi bahwa segala macam jenis dan bentuk pujian itu hanya untuk Allah semata.

Arrabb adalah pemilik, penguasa, dan pengendali. Menurut bahasa, kata rabb ditujukan kepada tuan dan kepada yang berbuat untuk perbaikan. Semuanya itu benar bagi Allah Ta’ala. Kata ar-rabb tidak digunakan untuk selain dari Allah kecuali jika dibenarkan tambahan dengan kata lain setelahnya, misalnya rabbuddar (pemilik rumah). Sedangkan kata ar-rabb (secara mutlak), maka hal itu hanya boleh digunakan untuk Allah SWT.

Ada yang mengatakan, bahwa ar-rabb itu merupakan nama yang agung (al-ismul a’zham). Sedangkan al’alamin adalah bentuk jamak dari kata ‘alamun yang berarti segala sesuatu yang ada selain Allah SWT. ‘Alamun merupakan jamak yang tidak memiliki mufrad (bentuk tunggal) dari kata itu. Al’awalim berarti berbagai macam makhluk yang ada di langit, bumi, daratan, lautan. Dan setiap angkatan (pada suatu kurun/zaman) atau generasi disebut juga alam.

Bisyr bin Imarah meriwayatkan dari Abu Rauq dari adh-Dhahhak dari Ibnu Abbas, “Alhamdulillahirabbil ‘alamin. Artinya, segala puji bagi Allah pemilik seluruh makhluk yang ada di langit dan di bumi serta apa yang ada di antara keduanya ini adalah kepunyaan-Nya, baik yang kita ketahui maupun yang tidak kita ketahui.”

Az-Zajjaj mengatakan, al’alam berarti semua yang diciptakan oleh Allah di dunia dan di akhirat.

Sedangkan al-Qurthubi mengatakan, apa yang dikatakan az-Zajjaj itulah yang benar, karena mencakup seluruh alam (dunia dan akhirat).

Menurut penulis (Ibnu Katsir) al’alam berasal dari kata al’alamatu, karena alam merupakan bukti yang menunjukkan adanya Pencipta serta keesaan-Nya. Sebagaimana Ibnu al-Mu’taz pernah mengatakan, “Sungguh mengherankan, bagaimana mungkin seorang bisa mendurhakain Rabb, atau mengingkari-Nya, padalah terdapat dalam segala sesuatu, ayat untuk-Nya yang menunjukkan bahwa Dia adalah Esa.”

Sumber: Terjemahan Lubabut Tafsir Min Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir), Tim Pustaka Imam as-Syafi’i

SURAH AL-FATIHAH (سورة الفاتحة) – BAH. 1


بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ ﴿١﴾ ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَـٰلَمِينَ ﴿٢﴾ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ ﴿٣﴾ مَـٰلِكِ يَوْمِ ٱلدِّينِ ﴿٤﴾ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ﴿٥﴾ ٱهْدِنَا ٱلصِّرَ‌ٰطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ ﴿٦﴾ صِرَ‌ٰطَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ ٱلْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ ﴿٧﴾

(1) Dengan nama Allah, Yang Maha Pemurah, lagi Maha Mengasihani. (2) Segala puji tertentu bagi Allah, Tuhan yang Memelihara dan Mentadbirkan sekalian alam. (3) Yang Maha Pemurah, lagi Maha Mengasihani. (4) Yang Menguasai pemerintahan hari Pembalasan (hari akhirat). (5) Engkaulah sahaja (Ya Allah) Yang Kami sembah dan kepada Engkaulah sahaja kami memohon pertolongan. (6) Tunjukilah kami jalan yang lurus. (7) Iaitu jalan orang-orang yang Engkau telah kurniakan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) orang-orang yang Engkau telah murkai dan bukan pula (jalan) orang-orang yang sesat.

Artikel I

Para sahabat membuka Kitabullah dengan membacanya. Dan para ulama telah sepekat bahwa Bismillaahirahmaaniahiim adalah salah satu ayat dari surat an-Naml. Tetapi, mereka berbeda pendapat apakah basmalah itu ayat yang berdiri sendiri pada awal setiap surat ataukah meupakan bagian dai awal masing-masing surat dan ditulis pada pembukaannya. Ataukah merupakan salah satu ayat dari setiap surat, atau bagian dari surat Al-Fatihah saja dan bukan surat-surat lainnya. Ataukah basmalah yang ditulis di awal masing-masing surat itu hanya untuk pemisah antara surat semata dan bukan meupakan ayat. Ada beberapa pendapat di kalangan para ulama, baik salaf maupun khalaf, dan bukan di sini tempat untuk menjelaskan itu semua.

Dalam kitab Sunan Abu Dawud diiwayatkan dengan isnad sahih, dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah saw tidak mengetahui pemisah surat Alquran sehingga turun kepadanya, bismillaahirahmaaniahiim.

Hadis di atas juga diriwayatkan al-Hakim Abu Abdillah an-Nisaburi dalam kitab al-Mustadrak.

Termasuk yang menyatakan bahwa basmalah adalah ayat dai setiap surat kecuali at-Taubah yaitu Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu az-Zubair, Abu Hurairah, Ali. Dari kalangan tabi’in: Atha’, Thawus, Sa’id bin Jubair, Makhul, dan az-Zuhri.

Hal yang sama juga dikatakan oleh Abdullah bin al-Mubarak, Imam Syafi’i, Ahmad bin Hanbal (menurut satu riwayat). Ishak bin Rahawaih, Abu Ibaid al-Qasim bin Salam ra.

Sedangkan Imam Malik dan Abu Hanifah beserta para pengikutnya bependapat bahwa basmalah itu bukan temasuk ayat Al-Fatihah, tidak juga surat-surat lainnya. Namun, menurut Dawud, basmalah teletak pada awal setiap surat dan bukan bagian dainya. Demikian pula menurut satu riwayat dai Imam Ahmad bin Hanbal.

Mengenai bacaan basmalah secara jahr (dengan suara keras), termasuk bahagian dai pebezaan pendapat di atas. Mereka yang bependapat bahwa basmalah itu bukan ayat Al-Fatihah, maka ia tidak membacanya secara jahr. Demikian juga yang mengatakan bahwa basmalah adalah suatu ayat yang ditulis pada awal setiap surat.

Mereka yang berpendapat bahwa basmalah termasuk bahagian pertama dari setiap surah, masih berbeza pendapat. Imam Syafi’i berpendapat bahwa basmalah itu dibaca secara jahr besama Al-Fatihah dan juga surah Al-Quran lainnya. Inilah mazhab beberapa sahabat dan tabi’in serta para imam, baik salaf maupun khalaf.

Dalam kitab sahih al-Bukhari, diriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa ia pernah ditanya mengenai bacaan dari Nabi saw, maka ia menjawab, “Bacaan beiau itu (kalimat demi kalimat) sesuai dengan panjang pendeknya. Kemudian Anas membaca bismillaahirrahmanirrahim, dengan memanjangkan bahagian-bahagian yang perlu dipanjangkan).”

Dalam Musnad Imam Ahmad, Sunan Abi Dawud, sahih Ibnu Khuzaimah, dan Mustadrak al-Hakim yang diriwayatkan dari Ummu Salamah ra, katanya, “Rasulullah saw memutus bacaannya, bismillahirrahmanirrahim, alhamdulillahirabbil’alamin, arrahmanirrahim, malikiyaumiddin.”

Ad-Daraquthni mengatakan, isnad hadis ini sahih.

Ulama lainnya berpendapat bahwa basmalah tidak dibaca secara jahr di dalam salat. Inilah riwayat yang benar dari empat Khulafa ‘ur-Rasyidin, Abdullah bin Mughaffal, beberapa golongan ulama salaf maupun khalaf. Hal ini juga menjadi pendapat Imam Abu Hanifah, ats-Tsauri, dan Ahmad bin Hanbal.

Menurut Imam Malik, basmalah tidak dibaca sama sekali, baik secara jahr maupun sirri. Mereka mendasarkan pada hadis yang terdapat dalam kitab sahih Muslim, dari Aisyah ra, katanya Rasulullah saw membuka salat dengan takbir dan bacaan alhamdulillahirabbil’alamin.

Juga hadis dalam kitab sahih Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik, ia menceritakan, “Aku pernah salat di belakang Nabi saw, Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Mereka semua membuka salat dengan bacaan alhamdulillahirabbil’alamin.”

Menurut riwayat Muslim, “Mereka tidak menyebutkan bismillahirrahmanirrahim pada awal bacaan dan tidak juga pada akhirnya.”

Hal senada juga terdapat dalam kitab Sunan, diriwayatkan dari Abdullah bin Mughaffal ra.

Demikianlah dasar-dasar pengambilan pendapat para imam mengenai masalah ini, dan tidak terjadi perbedaan pendapat, karena mereka telah sepakat bahwa salat bagi orang yang menjahrkan atau yang mensirrikan basmalah adalah sah. Segala puji bagi Allah SWT.

Sumber: Terjemahan Lubabut Tafsir Min Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir), Tim Pustaka Imam as-Syafi’i

Artikel II

Oleh DR. ZULKIFLI MOHAMAD ALBAKRI

Surah ini dinamakan dengan berbagai-bagai nama seperti al-Fatihah, Um al-Kitab, al-Sab’ai al-Masthani dan lain-lain. Imam al-Qurtubi menghitung 12 nama fatihah sedangkan al-Alusi menyebut sebahagian ulama mengira sampai 22 nama, sama ada secara tauqif daripada Nabi atau ijtihad para sahabat.

Mempunyai tujuh ayat dengan ijmak yang bersalahan ulama pada cara bilangannya sama ada basmalah termasuk dalam ayat atau tidak.

Surah al-Fatihah termasuk surah-surah Makkiah seperti yang dinyatakan oleh al-Wahidi dalam Asbab al-Nuzul dan al-Tha’labi oleh Ibn Abi Syaibah, Abu Naim dan al-Baihaqi.

Ada pendapat yang menganggap surah ini termasuk surah Madaniah berdasarkan kepada apa yang diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah, Abu Said bin al-A’rabi, al-Tabarani daripada Mujahid daripada Abi Hurairah: “Menangislah iblis ketika diturunkan al-Fatihah di Madinah.”

Pendapat yang ketiga ini diturunkan dua kali, Mekah dan Madinah sebagai menghimpun antara riwayat-riwayat.

Keistimewaan dan fadhilat surah al-Fatihah

Nas-nas hadis yang menunjukkan banyak kelebihan surah al-Fatihah, antaranya:

  • Sebesar-besar surah dari segi kelebihannya seperti riwayat al-Bukhari daripada Abi Said bin Mu’alla.
  • Tiada tandingan dan bandingan dengan mana-mana surah dan kitab seperti Taurat, Injil, Zabur dan al-Furqan daripada surah al-Fatihah seperti riwayat Imam Ahmad daripada Ubay bin Ka’ab.
  • Dua cahaya yang digembirakan oleh Malaikat iaitu al-Fatihah dan penutup surah al-Baqarah seperti riwayat Muslim daripada Ibn Abbas.
  • Penyembuh penyakit seperti terkena patukan ular, kala jengking dan lain-lain. Ini dinyatakan al-Bukhari dan Muslim daripada Abi Said al-Khudri.
  • Kelebihan al-Fatihah jelas apabila diwajibkan dalam setiap rakaat solat seperti riwayat al-Bukhari, Muslim dan al-Tirmizi daripada Abu Hurairah.
  • Menyembuh penyakit gila seperti riwayat Imam Ahmad, Abu Daud, al-Nasa’ie, Ibn Sunni, Ibn Jarir, al-Hakim yang mensahihkannya daripada Kharijah bin al-Salt al-Tamimi daripada bapa saudaranya yang datang bertemu Rasulullah s.a.w dan pulang kemudian lalu di perkampungan yang terdapat seorang lelaki yang dirantai dengan besi lantas kata keluarganya: “Adakah kamu boleh rawatnya, kerana kamu datang daripada sahabatmu (Rasulullah s.a.w) yang amat baik.”

Aku pun baca al-Fatihah selama 3 hari dengan dua kali pagi dan petang setiap hari, aku hembus ke mukanya kemudian dengan izin Allah dia sembuh dan diberikan kepadaku 100 ekor kambing, aku datang kepada Rasulullah s.a.w dan menceritakannya, sabda Rasulullah s.a.w (yang bermaksud): “Makanlah, siapa yang berjampi dengan bathil? Sesungguhnya awak berjampi dengan sebenarnya.”

Inilah sebahagian daripada fadhilat al-Fatihah.

Inti pati dan kandungan surah al-Fatihah

Al-Fatihah mempunyai makna-makna al-Quran yang diasaskan dengan maksud-maksud secara ijmal, terdiri daripada usul al-din dan cabang-cabangnya seperti akidah, ibadah, tasyrik, iktiqad dengan hari akhirat, beriman dengan sifat-sifat Allah yang mulia, mengesakannya dalam beribadat, minta pertolongan dan doa’ Mohon hidayah ke jalan yang benar di samping menetapkan iman dan jalan orang-orang solihin, menjauhkan daripada golongan yang dimurka Allah dan yang sesat. Justeru, dinamakan Um al-Kitab kerana menghimpun segala maksud asas.

Al-Syahid Hasan al-Banna dalam risalahnya – Mukadimah fi al-Tafsir – berkata: “Tiada syak siapa yang tadabbur al-Fatihah yang mulia ini pasti dapat melihat kayanya makna dan keindahannya serta keserasiannya, antara lain dapat dilimpahi cahaya pada hatinya.”

Al-Syahid Syed Qutub dalam tafsirnya – Fi Zilal al-Quran antara lain berkata: “Sesungguhnya surah ini mengandungi inti pati aqidah Islamiyyah tasawwur Islami, perasaan dan harapan doa kepada ilahi yang diisyaratkan daripada hikmah pemilihan surah ini pada setiap rakaat solat.”

Al-Syeikh Abdul Rahman Habannakah al-Midani di dalam kitabnya Ma’arij al-Tafakkur membahagikan intipati al-Fatihah kepada empat, iaitu:

Pertama       : Asas iman yang wajib diimani hamba-hamba Allah yang diujinya ketika berkelana di dunia secara mesti.

Kedua          : Tuntutan Allah terhadap hambanya beribadat dan bergantung kepadanya tanpa sekatan dengan yang lain.

Ketiga          : Agama pilihan Allah bagi hamba-hamba-Nya yang diuji hanya sirat al-mustaqim yang dapat kemenangan yang disuruh pohon hidayah kepada-Nya.

Keempat      : Dua masa ujian, ujian di dunia dalam kehidupan semenjak lahir dan hingga kiamat terhadap tuntutan Allah.

Justeru, dinamakan surah ini Um al-Quran kerana rangkuman segala intipati al-Quran.

Tafsir ayat pertama

Maksudnya: “Dengan nama Allah, yang Maha Pemurah, lagi Maha Mengasihani.”

Makna ayat ini ialah, akan mulakan menyebut nama Allah sebelum setiap sesuatu dengan memohon pertolongan kepada Allah dalam segala urusan, kerana Allah bersifat Maha Perkasa di atas setiap sesuatu.

Ibn Jarir berkata: “Sesungguhnya Allah mendidik Nabi-Nya Muhammad SAW dalam melakukan segala pekerjaan hendaklah dimulakan nama-nama-Nya yang mulia dan dijadikan sunnah bagi sekalian makhluknya sama ada percakapan, surat, kitab dan hajat-hajat.”

Gesaan ini jelas dengan arahan Allah dalam ayat yang pertama yang diturunkan dalam surah al-‘Alaq. Justeru, Allah muqaddimahkan ayat ini pada semua surah kecuali surah al-Taubah, ini kerana mengikut sebahagian ulama, ayat ini mohon rahmat sedangkan surah al-Taubah mengisahkan tentang perang atau hukuman Allah.

Dinaskan dalam hadis riwayat Abu Daud dan Ibn Majah daripada Abi Hurairah bahawa Rasulullah s.a.w bersabda yang maksudnya : “Setiap sesuatu yang tidak dimulakan dengan basmalah ia akan terputus.”

Hadis ini dihasankan oleh al-Nawawi, maksud ‘terputus’ di sini adalah dicabut daripada kebaikan dan berkat.

Al-Alusi dalam kitabnya – Ruh al-Ma’ani berkata: “Ulama khilaf adakah ayat ini khusus untuk umat ini atau tidak?”

Abu Bakar al-Tunisi menaqalkan ijmak ulama bahawa Allah muqaddimah setiap kitab-Nya dengan basmalah.

Dalam basmalah terdapat tiga nama Allah iaitu Allah, al-Rahman dan al-Rahim. Allah nama bagi zat yang wajib ada yang bergantung segala alam dengan-Nya seperti firman Allah s.w.t yang bermaksud: “Hai manusia kamu semua fakir (berhajat) kepada Allah, dan Allah bersifat Maha Kaya lagi Terpuji.”

Satu-satunya nama yang dikaramahkan Allah ialah nama-Nya sendiri ‘Allah’ yang tidak disekutukan oleh mana-mana makhluk termasuk manusia yang Islam atau bukan, yang bertamadun atau tidak. Semuanya tidak menamakan anak-anak mereka dengan nama Allah. Inilah ajaib nama ini.

Perbezaan antara Allah dan Ilah, iaitu Allah menunjukkan kepada nama khas bagi zat yang Maha Suci tidak sekutukan dengan yang lain yang bermaksud Tuhan yang diabdikan dengan sebenarnya.

Sebaliknya Ilah menunjukkan umum sama ada kepada Allah, Tuhan yang sebenar atau tuhan-tuhan yang bathil lainnya.

Al-Rahman dan al-Rahim menunjukkan rahmat Allah yang meliputi sekalian makhluk. Al-Rahman dan al-Rahim apabila disekalikan sebutan memberi makna yang berbeza, di mana al-Rahman lebih umum dan di dunia ini sedangkan al-Rahim khusus untuk ahli taat di hari akhirat. Sebaliknya, apabila disebut al-Rahman atau al-Rahim  sahaja, ia mewakili antara satu sama lain seperti pendapat Syeikh Abdullah Sirajuddin di dalam tafsir surah al-Fatihah.

Hikmah dikhususkan sebutan al-Rahman dan al-Rahim dalam basmalah kerana beberapa perkara:

  • Supaya hamba-Nya tahu bahawa Allah, Tuhan mereka bersifat Rahman dan Rahim untuk menjadikan mereka taat dan ibadah memohon kepada-Nya.
  • Nama al-Rahman meliputi segala alam yang kesannya dapat dilihat dan dibuktikan. Dan semua makhluk seperti manusia, jin dan lain-lain dicipta dengan rahmat Allah, justeru, dengan menghayati kalimat ini menambahkan lagi ketaatan kita kepada Allah.

Kenapa disebut dengan nama Allah, tidak Allah sahaja?

Persoalan ini timbul adakah diminta harap atau doa kepada Allah atau nama Allah. Jawabnya: “Dengan Allah, tetapi Allah sendiri yang menyuruh bertawassul dengan nama-Nya, justeru tidaklah menjadi masalah.”

Kedua, al-Allamah Abu Su’ud membezakan antara sumpah dan minta berkat, ini kerana kenyataan seseorang dengan Allah boleh diandaikan sebagai sumpah dan juga tabarruk. Oleh itu diletakkan nama Allah untuk membezakannya. Inilah yang sahih seperti kenyataan ahli tahqiq daripada kalangan mufassirin.

Matlamat bacaan basmalah

Antara faedahnya ialah tabarruk dengan nama Allah, membesarkannya, menghalau syaitan, menzahirkan kelainan daripada musyrikin yang menyebut dengan berhala masing-masing, keamanan bagi orang takut, ikrar ketuhanan, iktiraf nikmat dan pertolongan kepada Allah.

Disunat bacaan basmalah pada beberapa keadaan

Dalam melayari kehidupan, amat perlu digantung harap kepada Allah dalam segala urusan apatah lagi yang penting dan besar. Bacaan basmalah amat sesuai dan dan perlu dalam keadaan seperti berikut:

  1. Dalam urusan-urusan yang besar, seperti surat Rasulullah s.a.w kepada Raja-raja Rom, Parsi dan lain-lain. Seperti riwayat Bukhari dan Muslim daripada Ali bin Abi Thalib dan lainnya.
  2. Ketika wuduk. Seperti riwayat al-Tirmizi daripada Abi Hurairah.
  3. Ketika masuk masjid. Seperti riwayat Ahmad dan Ibn Majah daripada Fatimah al-Zahra.
  4. Ketika masuk rumah. Seperti riwayat Abu Daud daripada Abi Malik al-Asy’ari.
  5. Ketika keluar rumah. Seperti riwayat Ashab al-Sunan daripada Ummu Salamah.
  6. Ketika menaiki kenderaan. Seperti riwayat Imam Ahmad daripada Ali bin Rabi’ah.
  7. Ketika menutup pintu. Seperti riwayat Bukhari dan Muslim daripada Jabir.
  8. Ketika makan dan minum. Seperti riwayat Ashab al-Sunan daripada Aisyah RAnha.
  9. Ketika sembelih binatang. Seperti hadis muttafaq alaih daripada ‘Abayah bin Rifaah daripada datuknya.
  10. Ketika masuk pasar. Seperti riwayat al-Tabarani, al-Hakim dan lain-lain daripada Buraidah.
  11. Ketika hendak tidur. Seperti riwayat Abu Daud dan al-Hakim daripada Abi al-Azhar.
  12. Ketika pagi dan petang. Seperti riwayat Abu Daud, Ibn Hibban dan lain-lain daripada Uthman bin Affan.
  13. Ketika sangat sakit dan lapar. Seperti riwayat al-Tirmizi daripada Ibn Abbas.
  14. Ketika mendatangi ahli. Seperti riwayat Syaikhan dan Imam Ahmad daripada Ibn Abbas.

Secara umumnya, bacaan basmalah disunatkan pada perkara ibadah dan juga perkara yang harus tidak dalam perkara haram. Ini kerana perkataan – zi-bal – dalam hadis ialah sesuatu yang waras atau ada faedah kemuliaan seperti kata Allamah al-Munawi.

Beberapa permasalahan feqah

  1. Basmalah adakah daripada al-Fatihah. Terdapat tiga pendapat ulama dalam masalah ini:

a)     Termasuk daripada ayat al-Quran untuk semua surah kecuali surah Bara’ah bagi memisahkan antara surah diletakkan basmalah.

b)     Termasuk daripada surah al-Fatihah. Inilah mazhab Syafie.

c)     Termasuk daripada surah al-Fatihah dan muqaddimah setiap surah.

Dan setiap pendapat mengemukakan hujah-hujah dan dalil-dalil masing-masing. Ulama’ feqah menyebut dalam kitab masing-masing secara panjang lebar khususnya imam al-Tabarani mengarang kitab khusus dinamakan – Ahkam al-Basmalah – mengisbatkan bahawa basmalah termasuk dalam al-Fatihah. Inilah pendapat yang rajih ulama’ tafsir seperti al-Alusi, al-Qurtubi, Ibn Kathir dan ramai lagi dengan menghuraikan panjang lebar dalam kitab masing-masing.

Ancaman daripada membuang nama-nama Allah dan ayat-ayat daripada kitab-Nya atau hadis Rasulullah s.a.w ke tanah/bumi /tempat keji

Riwayat Abu Daud daripada Umar bin Abdul Aziz bahawa Nabi pernah melintasi satu kertas yang jatuh di bumi dan bertanya kepada pemuda: “Apa ini?” Jawabnya: “Terdapat bismillah padanya.” Sabda Rasulullah s.a.w yang bermaksud: “Allah melaknat sesiapa yang melakukannya, jangan kamu letak bismillah kecuali pada tempatnya.”

Sebaliknya, memeliharanya boleh dikurnia Allah dengan hikmah seperti riwayat al-Baihaqi dalam ‘Syuab’nya daripada Abi Abd Rahman al-Sulami pada menceritakan Mansur bin Ammar bahawa beliau didatangkan hikmah, sebabnya dia mendapati perca kertas di atas tanah tertera kalimah basmalah. Diambilnya tetapi tiada tempat untuk disimpannya lantas ditelannya. Pada malamnya dia bermimpi ada suara berkata kepadanya: “Sesungguhnya Allah membuka pintu hikmah dengan kemuliaanmu terhadap perca kertas itu, selepas itu dapatlah dia bercakap dengan hikmah.”

Al-Imam al-Qusairi juga mengkisahkan kisah yang hampir sama tentang Bisr al-Hafi. Justeru, sayugialah dimuliakan kalam Allah dengan sebesar-besar takzim kerana ia melambangkan ketakwaan hati.

KEUTAMAAN SURAH AL-FATIHAH


Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Sa’id bin al-Muallat, katanya, “Aku pernah mengerjakan salat, lalu Rasulullah saw memanggilku, tetapi aku tidak menjawabnya, hingga aku menyelesaikan salat. Setelah itu, aku mendatangi beliau, maka beliau pun bertanya, ‘Apa yang menghalangimu datang kepadaku?’ Maka aku menjawab, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya aku tadi sedang mengerjakan salat’. Lalu beliau bersabda, ‘Bukankah Allah Ta’ala telah berfirman,

‘Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyerumu kepada yang memberi kehidupan kepadamu’. ( Al-Anfal: 24).

Dan, setelah itu beliau bersabda, ‘Akan aku ajarkan kepadamu suatu surat yang paling agung di dalam Alquran sebelum engkau keluar dari masjid ini’. Maka, beliau pun menggandeng tanganku. Dan, ketika beliau hendak keluar dari masjid, aku katakan, ‘Ya Rasulullah, engkau tadi telah berkata akan mengajarkan kepadaku surat yang paling agung di dalam Alquran’. Kemudian beliau menjawab, ‘Benar’, “Al hamdulillahi rabbil ‘alamin”, ia adalah as-Sab’ul Matsani dan Alquran al-Azhim yang telah diturunkan kepadaku.”

Demikian pula yang diriwayatkan al-Bukhari, Abu Dawud, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah, melalui beberapa jalan dari Syu’bah, para ulama menjadikan hadis ini dan semisalnya sebagai dalil keutamaan dan kelebihan sebagian ayat dan surat atas yang lainnya, sebagaimana disebutkan banyak ulama, di antaranya Ishak bin Rahawaih, Abu Bakar Ibnu al-Arabi, Ibnu al-Haffar seorang penganut mazhab Maliki.

Sementara, sekelompok lainnya berpendapat bahwasanya tidak ada keutamaan suatu ayat atau surat atas yang lainnya, karena semuanya merupakan firman Allah Ta’ala. Supaya hal itu tidak menimbulkan dugaan adanya kekurangan pada ayat yang lainnya, meski semuanya itu memiliki keutamaan. Pendapat ini dinukil oleh al-Qurthubi dari al-Asy’ari, Abu Bakar al-Baqillani, Abu Hatim Ibnu Hibban al-Busti, Abu Hayyan, Yahya bin Yahya, dan sebuah riwayat dari Imam Malik.

Ada hadis riwayat al-Bukhari dalam kitab Fadhailul Qur’an, dari Abu Sa’id al-Kudri, katanya, “Kami pernah berada dalam suatu perjalanan, lalu kami singgah, tiba-tiba seorang budak wanita datang seraya berkata, “Sesungguhnya kepala suku kami tersengat, dan orang-orang kami sedang tidak berada di tempat, apakah di antara kalian ada yang bisa memberi ruqyah?” Lalu ada seorang laki-laki yang berdiri bersamanya, yang kami tidak pernah menyangkanya punya ruqyah. Kemudian orang itu membacakan ruqyah, maka kepala sukunya itu pun sembuh. Lalu, ia (kepala suku) menyuruhnya diberi tiga puluh ekor kambing, sedang kami diberi minum susu. Setelah ia kembali, kami bertanya kepadanya, “Apakah engkau memang pandai dan biasa meruqyah?” Maka ia pun menjawab, “Aku tidak meruqyah, kecuali dengan ummul kitab (Al-Fatihah).” “Jangan berbuat apa pun sehingga kita datang dan bertanya kepada Rasulullah saw,” sahut kami. Sesampai di Madinah kami menceritakan hal itu kepada Nabi saw, maka beliau pun bersabda, “Dari mana dia tahu bahwa surat Al-Fatihah itu sebagai ruqyah (jampi), bagi-bagilah kambing-kambing itu dan berikan satu bagian kepadaku.” Demikian pula riwayat Muslim dan Abu Dawud.

Hadis lainnya, riwayat Muslim dalam kitab sahih an-Nasa’i dalam kitab sunan dari Ibnu Abbas, katanya, “Ketika Rasulullah saw sedang bersama malaikat Jibril, tiba-tiba Jibril mendengar suara dari atas. Maka, Jibril mengarahkan pendangannya ke langit seraya berkata, “Itulah pintu telah dibuka dari langit yang belum pernah terbuka sebelumnya.” Ibnu Abbas melanjutkan, “Dari pintu itu turun malaikat dan kemudian menemui Nabi saw seraya berkata, ‘Sampaikanlah berita gembira kepada umatmu mengenai dua cahaya. Kedua cahaya itu telah diberikan kepadamu, yang belum pernah sama sekali diberikan kepada seorang nabi pun sebelum dirimu, yaitu fatihatul kitab dan beberapa ayat terakhir surat Al-Baqarah. Tidaklah engkau membaca satu huruf saja darinya melainkan akan diberi (pahala) kepadamu’.”

Lafaz hadis di atas berasal dari al-Nasa’i. Lafaz yang sama juga diriwayatkan Muslim. Muslim juga meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah, dari Nabi, beliau bersabda, “Barangsiapa yang mengerjakan salat tanpa membaca ummul Qur’an, maka salatnya itu tidak sempurna tidak sempurna tidak sempurna.”

Dikatakan kepada Abu Hurairah, “Kami berada di belakang imam.” Maka Abu Hurairah berkata, “Bacalah Al-Fatihah itu di dalam hatimu, karena aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Allah Ta’al berfirman, ‘Aku telah membagi salat dua bagian antara diri-Ku dengan hamba-Ku. Dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta’. Jika ia mengucapkan, ‘alhamdulillahi rabbil ‘alamin’, maka Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah memuji-Ku’. Dan jika ia mengucapkan, ‘ Arrahmanirrahimi’, maka Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah menyanjung-Ku’. Jika ia mengucapkan, ‘Malikiyaumiddin’, maka Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah memuliakan-Ku’. Dan pernah Abu Hurairah menuturkan, ‘Hamba-Ku telah berserah diri kepada-Ku’. Jika ia mengucapkan, ‘Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’, maka Allah berfirman, ‘Inilah bagian diri-Ku dan hamba-Ku, dan untuk hamba-Ku apa yang ia minta’. Dan jika ia mengucapkan, ‘Ihdinashirathalmaustqim shirathaladzina an’amta ‘alaihim ghairil maghdhubi ‘alaihim waladholin’, maka Allah berfirman, ‘Ini untuk hamba-Ku dan bagi hamba-Ku pula yang apa yang ia minta’.” (Demikian pula diriwayatkan an-Nasa’i).

Penjelasan mengenai hadits tersebut yang khusus tentang al-Fatihah (lihat kajian sebelim ini), terdiri dari beberapa hal:
Pertama, disebutkan dalam hadis tersebut kata salat, dan maksudnya adalah bacaan, seperti firman Allah, “Janganlah engkau mengeraskan suaramu dalam salatmu dan jangan pula merendahkannya serta carilah jalan tengah di antara keduanya itu.” (Al-Isra’: 110).

Sebagaimana dijelaskan dalam hadis sahih dari Ibnu Abbas. Demikian pula firman Allah dalam hadis ini, “Aku telah membagi salat dua bagian di antara diriku dengan hamba-Ku. Setengah untuk-Ku dan setengah lainnya untuk hamba-Ku. Dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta.”

Kemudian Dia jelaskan pembagian itu secara rinci dalam bacaan Al-Fatihah. Hal itu menunjukkan keagungan bacaan Al-Fatihah dalam salat merupakan rukun utama. Apabila disebutkan kata ibadah dalam satu bagian, sedangkan yang dimaksud satu bagian lainnya, artinya bacaan Al-Fatihah. Sebagaimana disebutnya kata bacaan sedang maksudnya adalah salat itu sendiri, dalam firman-Nya, “Dan dirikanlah salat Subuh. Sesungguhnya salat Subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (Al-Isra: 78). Sebagaimana secara jelas disebutkan di dalam kitab sahih Bukhari dan Muslim, “Salat Subuh itu disaksikan oleh malaikat malam dan malaikat siang.”
Semuanya itu menunjukkan bahwa menurut kesepakatan para ulama, bacaan Al-Fatihah dalam salat merupakan suatu hal yang wajib.

Namun demikian, mereka berbeda pendapat mengenai apakah selain Al-Fatihah ada surat tertentu yang harus dibaca, atau cukup Al-Fatihah saja? Mengenai hal ini terdapat dua pendapat. Menurut Abu Hanifah, para pengikutnya, dan juga yang lainnya, bahwasanya bacaan Alquran itu tidak ditentukan, tetapi surat atau ayat apa pun yang dibaca, maka akan memperoleh pahala. Mereka berhujjah dengan keumuman firman Allah Ta’ala, “Maka bacalah olehmu apa yang mudah bagimu dari Alquran.” ( Al-Muzzammil: 20).
Dan hadis yang terdapat dalam kitab sahih al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra mengenai kisah orang yang ku-rang baik dalam mengerjakan salatnya, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda, “Jika engkau mengerjakan salat, maka bertakbirlah, lalu bacalah apa yang mudah bagimu dari Alquran.”

Menurut mereka, Rasulullah memerintahkannya untuk membaca yang mudah dari Alquran dan beliau tidak menentukan bacaan Al-Fatihah atau surat lainnya. Hal itu yang menjadi pendapat kami.

Kedua, diharuskan membaca Al-Fatihah dalam salat, dan tanpa Al-Fatihah maka salatnya tidak sah. Ini adalah pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, para sahabat mereka, serta jumhurul ulama. Pendapat mereka ini didasarkan pada hadis yang disebutkan sebelumnya, di mana Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa mengerjakan suatu salat, lalu ia tidak membaca ummul kitab di dalamnya, maka salatnya itu terputus.” (HR Muslim, al-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Abu Dawud, dari Abu Hurairah ra, dari Nabi saw).

Selain itu, mereka juga mendasarkannya pada hadis yang terdapat dalam kitab sahih al-Bukhari dan Muslim, dari az-Zuhri, dari Mahmud bin az-Rabi’, dari Ubadah bin ash-Shamit, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, “Tidak sah salat bagi orang yang tidak membaca ‘fatihatul kitab’.”

Dan diriwayatkan dalam sahih Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban, dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda, “Tidak sah salat yang di dalamnya tidak dibacakan ummul Quran.”

Hadis-hadis mengenai hal ini sangat banyak, dan terlalu panjang jika kami kemukakan di sini tentang perdebatan mereka. Dan kami telah kemukakan pendapat mereka masing-masing dalam hal ini. Kemudian, Imam Syafi’i dan sekelompok ulama berpendapat bahwa bacaan Al-Fatihah wajib dilakukan pada setiap rakaat dalam salat. Sedang ulama lainnya menyatakan, bacaan Al-Fatihah itu hanya pada sebagian besar rakaat. Hasan Al-Bashri dan mayoritas ulama Bashrah mengatakan, bacaan Al-Fatihah itu hanya wajib dalam satu rakaat saja pada seluruh salat, berdasarkan pada kemutlakan hadis Rasulullah saw, dimana beliau bersabda, “Tidak sah salat bagi orang yang tidak membaca ‘fatihatul kitab’.”

Sedangkan Abu Hanifah dan para sahabatnya, ats-Tsauri, serta al-Auza’i berpendapat, bacaan Al-Fatihah itu bukan suatu hal yang ditentukan (diwajibkan), bahkan jika seseorang membaca selain Al-Fatihah, maka ia tetap mendapatkan pahala. Hal itu didasarkan pada firman Allah, “Maka bacalah olehmu apa yang mudah bagimu dari Alquran.” (Al-Muzzammil: 20). Wallahu a’lam.

Ketiga, Apakah makmum juga berkewajiban membaca Al-Fatihah? Mengenai hal ini terdapat tiga pendapat di kalangan para ulama:
Pendapat pertama, setiap makmum tetap berkewajiban membaca Al-Fatihah sebagaimana imam. Hal itu didasarkan pada keumuman hadis di atas.

Pendapat kedua, tidak ada kewajiban membaca Al-Fatihah atau surat lainnya bagi makmum sama sekali, baik dalam salat jahr (bacaan yang dikeraskan) maupun salat sirri (tidak dikeraskan). Hal itu didasarkan pada hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab al-Musnad, dari Jabir bin Abdullah, bahwa Nabi saw bersabda, “Barangsiapa salat bersama seorang imam, maka bacaan imam itu berarti bacaan untuk makmum juga.” Namun, hadis ini memiliki kelemahan dalam isnadnya. Dan diriwayatkan Imam Malik dari Wahab bin Kaisan, dari Jabir. Juga diriwayatkan dari beberapa jalan dan tidak satupun berasal dari Nabi saw. Wallahu a’lam.

Pendapat ketiga, Al-Fatihah wajib dibaca oleh makmum dalam salat sirri, dan tidak wajib baginya membaca dalam salat jahri. Hal itu sebagaimana yang telah ditegaskan dalam kitab Sahih Muslim, dari Abu Musa al-Asy’ari, katanya, Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya imam itu dijadikan sebagai panutan. Jika ia bertakbir, maka hendaklah kalian bertakbir. Dan jika ia membaca (Al-Fatihah atau surat Alquran), maka simaklah oleh kalian.” (Dan seterusnya).

Demikian pula diriwayatkan oleh para penyusun kitab as-Sunan, yaitu Abu Dawud, an-Nasa’i dan Ibnu Majah yang berasal dari Abu Hurairah, Nabi saw bersabda, “Jika imam membaca (Al-Fatihah atau surat Alquran), maka simaklah oleh kalian.” Hadis ini telah dinyatakan sahih oleh Muslim bin Hajjaj. Kedua hadis di atas menunjukkan kesahihan pendapat ini yang merupakan Qaulun qadim (pendapat lama) Imam Syafi’i rahimahullahu, dan satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu. Dan maksud dari pengangkatan masalah-masalah tersebut di sini adalah untuk menjelaskan hukum-hukum yang khusus berkenaan dengan surat Al-Fatihah dan tidak berkenaan dengan surat-surat lainnya.

Sumber: Terjemahan Ibnu Katsir, Pustaka Imam Syafi’ie